Sabtu, 10 Januari 2009

Samarinda versus Balikpapan

“Ini Balikpapan, Bung! Bukan Samarinda!”

Kalimat yang sedikit saya dramatisir itu, apa maksudnya? Tapi, dari kata dan nadanya, kita bakal segera tahu, memang “ada” beda antara Balikpapan, si Kota Minyak dengan si Kota Sarung, Samarinda.


DI KALIMANTAN Timur, Balikpapan dikenal sebagai kota bisnis. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di sana-sini. Lokasi-lokasi hunian mewah, pusat-pusat perbelanjaan, tempat-tempat hiburan malam, hotel-hotel berbintang.

Balikpapan berada di pinggir laut. Pelabuhannya, Semayang, paling ramai di Kalimantan Timur. Airportnya berkelas dunia, namanya Sepinggan. Banyak perusahaan pertambangan besar berkantor di sini. Ada Pertamina, Unocal, Total Indonesie, Chevron, sampai agen telur ayam di Pandansari.

Tiap malam, kawasan Melawai ditongkrongi anak-anak muda dan tua. Kafe-kafe di Bandar, menyuguhkan pemandangan lepas, Selat Makassar. Di sini, ada kopi tubruk, sekoteng, ronde, roti bakar, mie godhog, apa saja. Soal harga, bisa diatur, tak perlu kuatir “dihajar”.

Lokalisasi agak jauh ke pinggir, agak jauh dari hiruk-pikuk pusat kota. Letaknya di kilometer 17, di jalan poros Balikpapan-Samarinda. Makanya, “pusat jajan” di Balikpapan dinamai “Kilo 17″. [Monggo pinarak, silakan ngicipi...]

Samarinda, ia merupakan pusat pemerintahan provinsi. Ia menang pada jumlah dan kemegahan kantor-kantor pemerintahan. Soal bangunan tinggi, perumahan bagus, pusat belanja, tempat hiburan malam, hotel berbintang, bisa dipastikan masih di bawah Balikpapan.

Masalahnya, apa sebab, saya merasa berjalan-jalan di Balikpapan lebih nyaman ketimbang di Samarinda? What happen, atuuh?

Ini dia yang belum benar-benar saya mengerti musababnya. Padahal, beberapa ruas jalan di Balikpapan maupun Samarinda sama-sama melengkung-lengkung, bergunung-gunung. Kualitas cewek-ceweknya pun tak ada beda: pesek-pesek. Pejabat dan pengusahanya juga sama-sama pelit. Harga sewa internet juga tak ada selisih: 6.000 rupiah perjam. Harga beras sama-sama mahal. Hawa sama-sama panas. So why?

Kalau boleh saya menjembengkan beberapa pengalaman “kecil”, mungkin ini antara lain pemicunya:
Posisi tempat duduk angkutan kota [angkot] di Samarinda, antarpenumpang saling berhadapan[U-shaped]. Di Balikpapan, kursi buat penumpang searah dengan sopirnya, semua menghadap ke depan. Buat saya, posisi kursi angkot Balikpapan, lebih nyaman ketimbang angkot di Samarinda. [Catatan: di sini, orang menyebut angkot sebagai "taksi". Untuk taksi "beneran", perlu ditambah kata "argo".]
Masalah kebersihan, saya yakin lebih banyak orang yang sependapat bahwa Balikpapan lebih oke. Jalanan, pasar, perumahan sampai terminal bus, jauh bedanya! Berjalan-jalan siang hari di Samarinda, terlebih melewati beberapa ruas jalan tertentu, bisa-bisa hidung penuh debu. Setiap perjalanan dari Samarinda menuju Balikpapan, saya selalu bersenang hati manakala turun di Terminal Bus Batu Ampar, Balikpapan. Sebaliknya, dari Balikpapan ke Samarinda, saya tidak akan pernah mau lagi turun di Terminal Bus Sungai Kunjang, Samarinda. Kada nyaman, leh! Saya lebih suka loncat di pangkalan ojek seberang, sebelum jembatan Mahakam.
Tata ruang kota Samarinda, oleh sebagian orang, dinilai awut-awutan. Sebagai pengguna setia angkot, saya pun sependapat. Saya lihat, rute angkot di Samarinda seperti benang bundhet, meliuk-liuk, bikin pusing penumpang. Yang mestinya bisa melalui jalur yang lebih pendek, diputar-putarkan dulu ke sana ke mari.
Kawasan Tepian Mahakam, tempat nongkrong orang Samarinda, atau yang kebetulan tengah berada di kota ini. Sayang, berbeda dengan Melawai di Balikpapan, sebagian pedagang di Tepian Mahakam suka “menghajar” pembeli dengan harga tak wajar.

Kalimantan Timur memang “lucu”. Kalau di provinsi lain, airport utama bisa dipastikan selalu ada di ibukotanya. Tetapi di sini, Balikpapanlah pemilik bandara internasional. Airport Temindung di Samarinda, cuma buat pesawat-pesawat perintis, kecil-kecil. Sebuah bandar udara yang lebih besar, sedang dalam tahap mula pembangunan di Sei Siring, Samarinda Utara. Tapi kayaknya, terkendala fulus.

Yang juga “lucu”, Markas Kepolisian Daerah [Mapolda] Kaltim pun bukan di ibukota provinsi, melainkan di Balikpapan. Tidak mengherankan kalau orang yang jadi Kapolda Kaltim pasti lucu-lucu.

Seorang kawan punya kelakar begini: “Di Balikpapan, kalau ada pengendara mobil atau motor nyelonong waktu lampu merah masih menyala, dia pasti alumni Samarinda.” Terkesan melecehkan? Begitulah…

Kawan saya yang lain, seorang penjaga warnet di jalan Ahmad Yani, Gunungsari, Balikpapan, punya komentar lebih “kejam” lagi,”Orang Samarinda susah diatur!”

Kesan dan penilaian yang kurang baik dari sebagian masyarakat terhadap Kota Samarinda inilah yang pada akhirnya akan bermuara pada satu kalimat politis: “Mengatur Samarinda saja tidak becus, kok mau memimpin Kalimantan Timur!” Hahaha, maafkan ai, Pak Wali…

1 komentar:

rizulymulia mengatakan...

tulisannya di perbesar dong..susah nyyy bacanya...hehehhehe