Sabtu, 09 Januari 2010

Pedagang Asongan Itu

Hingga malam ini telah tiba..
tepat pukul 2 dini hari waktu setempat, bunyi jam gandul kuno berdentang kencang mengiang seisi rumah.
teringat kejadian tadi siang lagi, kebetulan saya lagi ada janji dengan seseorang untuk melakukan bisnis kecil antar anak muda, dimana untung yang bisa diperoleh lumayan buat nambah nambah duit jajan (tenang aja.. bisnis halal kok).

saya memang sudah janjian ketemuan dengan rekan bisnis saya, pukul 1 tepat saat itu,
di sebuah rumah makan cepat saji di daerah duren sawit. saya memesan beberapa makanan sembari menunggu rekan saya yang katanya dia masih berteduh di daerah bukit duri karena hujan mengguyur daerah itu, memang suasana saat itu sedikit mendung di duren sawit tapi tak hujan, mungkin hanya hujan lokal ditempat rekan saya berteduh.

satu ritual yang tak bisa saya lewatkan setelah makan adalah merokok, yah memang untuk sebagian orang menganggap rokok adalah sesuatu yang tabu, tapi bagi saya rokok adalah hal yang wajar, karena dalam agama pun rokok pun tidak dikatakan haram. Yap! makanan habis dan saya mulai repot mengobok-obok tas kecil saya untuk mencari rokok, dan sialnya saya kehabisan rokok.

tak jauh dari tempat saya duduk adalah tempat parkir motor, dan kebetulan ada pedagang rokok asongan disana, reflek tangan saya melambai kearahnya, kemudian si pedagang menghampiri saya. dengan posisi, saya sedang duduk di tempat makan, dan dia berdiri di luar, memang ada dinding setinggi pinggang yang memisahkan antara saya dan si pedagang.

"Classmild ada mas?"
"ga ada mas"
"Mild?"
"ga ada juga mas, adanya Marlboro"
"ga masalah, brapa mas?"
"12 ribu" (cukup mahal untuk kelas rokok Marlboro, tapi tak apa, namanya juga darurat)

Ketika saya mau membayar, dia masuk kedalam menghampiri saya untuk memberikan rokok, ada hal yang aneh setelah transaksi terjadi, saya melongo keluar melihat si pedagang, pada saat ia masuk ke dalam ia melepas sendalnya, entah kenapa, apa dia terlalu segan?
Saya langsung teringat tentang kata "Level" yang selalu saya ributkan dengan pacar saya dikala dia mengatakan saya berlevel tinggi (saya ga suka dikatain level-level gitu, risih!).
apakah bagi si pedagang ia merasa terlalu rendah untuk masuk restoran fast food ini sehingga melepas sendalnya ketika masuk? saya sangat iba, setelah saya membayar, ia berjalan menuju lampu merah di sebrang jalan untuk menjajakan dagangannnya lagi, sekali lagi dengan penuh senyuman! sungguh menggambarkan ia begitu menikmati hidup ini, saya jadi malu sendiri, saya terlalu sering mengeluh akan kondisi saya, padahal saya bisa dibilang hidup berkecukupan. Tak lama kemudian rekan saya datang, dan kami berbuncang sampai sore menjelang.

Ada pun yang saya renung kan selama perjalanan pulang ke rumah, dirumah, hingga sekarang, yaitu "melepas sendal" itu, sungguh bakal jadi bahan renungan saya untuk beberapa lama.